TRI DATU JALINAN BENANG PENUH MISTERI
Benang dalam upacara keagamaan umat Hindu dimanfaatkan sebagai sarana dan prasarana upacara, baik itu menyendiri atau pada bebanten yang digunakan. Benang pada banten seperti dalam banten pajati, pabuat, pamendak dengan segeh agung, mengikat jempol kaki dan tangan orang meningal, pamegat, pementasan wayang gedog dan masih banyak lagi. Kegunaan benang dalam upacara keagamaan umat Hindu demikian memiliki makna khusus yang perlu ditelaah lebih mendalam. Demikian juga dengan benang Tri Datu yang perlu diuraikan, dan dimaknai. Biasanya dipakai gelang tangan, kalung, berisi uang kepeng, dan lain-lain. Ada angapan bahwa benang Tri Datu sebagai penjaga diri, jimat, sekedar ikut-ikutan trend, paica atau banyak lagi.
Hampir semua orang Bali yang beragama Hindu mengetahui benang Tri Datu atau juga sering disebut Sri datu. Secara etimologi Tri Datu berasal dari kata tri yang berarti tiga, dan datu yang berarti raja, jadi Tri Datu berarti tiga raja. Tiga raja di sini adalah tiga Dewa utama dalam agama Hindu. Tiga Dewa dimaksud adalah Dewa Brahma, Dewa Wisnu, dan Dewa Siwa. Sastra-sastra agama menguraikan bahwa Dewa Brahma dengan aksara suci Ang, memiliki urip 9 dengan sakti Dewi Saraswati, disimbolkan dengan warna merah. Dewa Wisnu dengan aksara suci Ung, memiliki urip 4 dengan sakti Dewi Sri, dengan simbol warna hitam. Dan Dewa Siwa dengan aksara suci Mang, memiliki urip 8 dengan sakti Dewi Durga, disimbolkan dengan warna putih. Ketiga aksara ini yaitu Ang, Ung, Mang bila disatukan akan menjadi aksara AUM yang bila diucapkan menjadi OM. Aksara pranawa OM merupakan aksara suci umat Hindu serta memiliki nilai magis yang luar biasa sebagai simbol dari Ida Sanghyang Widi Wasa.
Jalinan benang ini benar bila ukuran benangnya, besar benangnya sama dijalin saling ikat bukan terlepas begitu saja, atau bukan dijalin seperti jalinan rambut. Benang Tri Datu bagi masyarakat Hindu difungsikan sebagai sarana dan prasarana upacara keagamaan. Semua kegiatan keagamaan yang terangkum dalam Panca Maha Yajña dalam pelaksanaannya memakai benang Tri Datu. Upacara Dewa Yajña benang Tri Datu difungsikan sebagai sarana nuntun Ida Sang Hyang Widhi dengan segala manifestasinya. Benang sebagai alat atau media penghubung antara pemuja dan yang dipuja. Dalam upacara Butha Yajña, benang Tri Datu dipakai pamogpog atas kekurangan persembahan yang dilaksanakan. Pelaksanaan upacara Rsi Yajña juga memakai benang Tri Datu yang digunakan sebagai slempang pada tubuh yang di diksa atau winten sebagai pawitra dari nabe kepada sisya. Pada upacara Manusa Yajña benang Tri Datu difungsikan sebagai lambang panugrahan. Memakai benang pawitra berwarna Tri Datu bermakna pengikatan diri terhadap norma-norma agama. Sedangkan pada upacara Pitra Yajña benang Tri Datu difungsikan sebagai panuntun atma yang telah meninggal.
Hakikatnya benang Tri Datu merupakan salah satu aktualisasi diri dalam konteks Tri Murti. Dalam ajaran agama Hindu Tri Murti adalah tiga kekuatan Sang Hyang Widhi Wasa dalam menciptakan, memelihara, dan mengembalikan pada asalnya alam beserta isinya. Tri Murti merupakan tiga kekuatan Ida Sang Hyang Widhi, yang terdiri dari tiga Dewa utama, yaitu Dewa Brahma, Dewa Wisnu dan Dewa Siwa. Dewa Brahma sebagai pencipta alam beserta isinya yang disebut utpeti. Dewa Wisnu sebagai pemelihara alam beserta isinya yang disebut sthiti. Dan Dewa Siwa sebagai kekuatan mengembalikan alam beserta isinya pada asalnya yang disebut pralina. Sang Hyang Widhi Wasa merupakan suatu Zat Abadi dan Supernatural, biasanya dikatakan mengawasi dan memerintah manusia dan alam semesta atau jagat raya. Zat Abadi adalah sebuah bentuk energi atau kesadaran yang merasuki seluruh alam semesta, di mana keberadaan-Nya membuat alam semesta ada; sumber segala yang ada; Kebajikan yang terbaik dan tertinggi dalam semua makhluk hidup; atau apa pun yang tak bisa dimengerti atau dijelaskan.
Sang Hyang Widhi Wasa merupakan suatu Zat Abadi yang disimbolkan dengan Tri Murti dan diaktualisasikan dengan benang Tri Datu. Memakai benang Tri Datu diharapkan umat Hindu dapat memfungsikan Tri Pramana. Tri Pramana berarti tiga unsur yang menyebabkan terjadinya suatu kehidupan. Tri Pramana terdiri dari bayu, sabda dan idep. Tumbuhan hanya memiliki bayu atau tenaga untuk tumbuh, binatang memiliki bayu dan sabda. Sehingga binatang memiliki tenaga untuk bertumbuh, berkembang, dan mengeluarkan suara. Sedangkan manusia memiliki bayu untuk tumbuh dan bergerak, sabda untuk bersuara, dan idep agar dapat berpikir sehingga bisa memilah benar dan salah, baik atau tidak baik. Penyatuan Tri Pramanan inilah merupakan jalinan kuat serta satu kesatuan utuh yang disimbolkan dengan benang Tri Datu.
Penjelasan di atas menegaskan bahwa manusia merupakan makhluk yang sempurna diantara ciptaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Manusia berasal dari kata Manusah, yang berakar dari kata Manu yang berarti kebijaksanaan, dan sah berarti mempunyai. Sehingga Manusia adalah makhluk hidup yang mempunyai kebijaksanan. Kebijaksanaan diperoleh dari tiga kemampuan kodrati manusia, yaitu bayu, sabda dan idep, yang dikenal dengan istilah Tri Pramana. Tri Pramana inilah yang perlu dituntun oleh ajaran agama dan ilmu pengetahuan. Bertujuan agar manusia menjadi lebih bijaksana, dan menjadi manusia yang sempurna. Makhluk lain seperti binatang hanya mempunyai dua kemampuan saja, yaitu kemampuan bergerak atau bayu dan kemampuan bersuara atau sabda.
Kitab Sarasamusccaya menyatakan, bahwa manusia wajib bersyukur karena atman telah menjelma menjadi makhluk yang utama. Oleh karena itu gunakanlah kesempatan hidup sebagai manusia yang sempit ini dengan sebaik-baiknya. Karena kelahiran sebagai manusia sungguh sangat sulit diperoleh. Lakukanlah segala sesuatu yang baik untuk mencegah kejatuhan harkat kemanusiaan. Gunakanlah kelahiran sebagai manusia ini untuk mencapai moksa. Manusia adalah makhluk yang lemah dibanding makhluk lain, oleh sebab itu gunakan akal budi untuk menguasai dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Hanya dengan ilmu pengetahuan, manusia dapat hidup dengan lebih baik.
Memahami konsep Tri Pramana akan menjadi penggerak konsep Trikaya Parisudha. Trikaya Parisudha berdasarkan etimologinya berasal dari kata Tri berarti tiga, Kaya berarti perbuatan atau prilaku, dan Parisudha berarti upaya penyucian. Trikaya Parisudha berarti upaya pembersihan atau penyucian atas tiga perbuatan atau prilaku. Tri Kaya Parisuda merupakan tiga gerak perilaku manusia yang harus disucikan, yaitu berpikir yang bersih dan suci disebut dengan Manacika, berkata yang baik dan benar disebut dengan Wacika, dan berbuat yang jujur adalah Kayika. Trikaya Parisudha merupakan konsep dasar manusia dalam hidupnya.
Benang Tri Datu yang merupakan simbol dari Tri Murti, Tri Pramana, dan Tri Kaya Parisudha sebagai aktualisasi diri ini, diharapkan umat Hindu mulai sadar akan jati dirinya. Salah satunya dengan cara introspeksi diri atau dengan istilah mulat sarira. Dengan adanya introspeksi diri ini diharapkan umat Hindu dapat hidup sesuai dengan konsep ajaran agama Hindu yang satu dengan yang lainnya memiliki keterikatan. Umat Hindu akan sadar bahwasannya ini adalah bagian dari kehidupan, dan kehidupan hanyalah sebagian kecil alam semesta. Dengan mengingat-Nya, menjalankan ajaran-Nya ada kerinduan manusia untuk kembali pada-Nya.
Benang Tri Datu yang merupakan simbol dari Tri Murti, Tri Pramana, dan Tri Kaya Parisudha menuntun umat Hindu akan jati dirinya. Sehingga dapat meningkatkan kualitas dirinya menjadi lebih baik. Walau tidak mudah, tetapi lebih baik berdiri dari pada duduk, lebih baik berjalan dari pada berdiri, lebih baik berlari dari pada berjalan. Berpikir, berkata, berbuat dengan baik dan benar merupakan makanan bagi manusia kelahiran tua. Berpikir, berkata, berbuat dengan baik dan benar merupakan makanan bagi atman yang rindu akan asalnya. Benang Tri Datu, Tri Murti, Tri Pramana, Tri Kaya Parisudha, dan tri-tri yang lainya merupakan jalinan penuh misteri dan mesti diuraikan.
PEMAKAIAN BENANG SEBAGAI TANDA PROSES KEHIDUPAN
Berbicara mengenai tanda-tanda yang dipakai sebagai penanda dalam kegiatan ritual keagamaan, bisa dikatakan bahwa agama Hindu memang sangat kaya dalam hal tersebut. Misalnya dalam agama Hindu ada gambar-gambar tertentu yang menyatakan senjata para dewa, warna-warna tertentu yang menyatakan arah mata angin menurut Hindu, dan tanda-tanda lainnya.
Seperti telah disebutkan di atas bahwa dari tanda-tanda keagamaan yang ditunjukkan seseorang kita sudah dapat menebak dari warga mana mereka tersebut. Misalnya para pemuja Siwa, biasanya mereka memakai Rudraksa sebagai ciri khasnya, sedangkan bagi warga pemuja Wisnu tanda yang paling mencolok yang bisa dilihat adalah tanda “Sika” kuncir di belakang kepala, mereka memakai “Kunti mala” kalung dari kayu tulasi, serta tanda-tanda lainnya.
Khusus dalam kegiatan keagamaan di Bali serta wilayah Nusantara umumnya, di mana Hindu pernah berkembang, masyarakatnya juga memiliki tanda khusus yang sering dipakai dalam kegiatan ritual, khususnya pemakaian benang suci. Dilihat dari jenis benang yang dipakai, ada berbagai nama benang suci yang dipakai oleh masyarakat kita, seperti “benang tetebus”, “benang pepegat”, “benang suci tanda brahmana”, “benang tri datu”, serta jenis benang-benang lainnya.
Menurut tradisi masyarakat Bali, pemakaian benang tersebut erat hubungannya dengan ritual tertentu, seperti saat acara matepung tawar, otonan, padiksan, odalan serta ritual lainnya. Bagi warga kebanyakan, memakai benang suci tersebut merupakan suatu acara seremonial tanpa perlu menanyakan apa maksud yang dikandung dalam pemakaian benang tersebut.
Menurut pendapat penulis, bahwa memakai benang suci itu bukan sekedar memakai seutas tali, namun ada makna yang lebih dalam dari pemakaian benang tersebut. Benang adalah cerminan suatu proses pematangan diri untuk menuju suatu kehidupan yang berguna dan suatu jalanan yang saling mengikat dan mengisi satu sama lain. Seperti proses pembuatan benang yang berasal dari kapas, sebelum menjadi benang kapas tersebut harus dipintal agar kita mendapatkan benang. Setelah mendapatkan benang, maka kita dipersilakan lagi mememakainya sesuai dengan kebutuhan kita, apakah mau dipakai untuk menyulam atau ditenun untuk dijadikan kain dan lain sebagainya.
Mengenai nama-nama benang yang dihasilkan dari proses pemilinan tersebut tergantung dari pesan yang kemudian ingin disampaikan sesuai imaginasi seseorang. Misalnya benang tridatu atau benang tiga warna melambangkan proses bersatunya tiga kekuatan yang diwakili oleh warna benang tersebut, misalnya hitam mewakili aspek dewa Wisnu, merah mewakili aspek kekuatan Brahma, putih mewakili manifestasi Dewa Siwa. Melalui benang tiga warna ini, masyarakat ingin menyatakan bahwa mereka itu memuja tiga manisfestasi kekuatan dewa berdasarkan prinsip Tri Murti. Bahkan bisa juga diulas lebih lanjut bahwa warna benang tri datu: hitam, merah, warna keemasan memiliki arti yang lain. Misalnya warna hitam melambangkan kesuburan, warna merah berarti darah, kekuatan atau tenaga , dan warna kuning keemasan melambangkan kemuliaan.
Dalam merayakan “otonan”, perayaan hari kelahiran berdasarkan siklus wuku dimana hari terus tersebut terulang setiap 210 hari, mereka yang natab banten otonan akan diberikan benang “tetebus”, benang yang harus dituntaskan. Tetebus berarti lunasi, atau tuntaskan. Jadi makna filosfis benang tetebus tersebut adalah, jika kita mengerjakan sesuatu seharusnya dilakukan sampai tuntas, bagaikan memilin benang tetebus yang bercerai-berai dan kita diwajibkan untuk mempersatukan dan menjadikan benang tersebut menjadi satu-kesatuan. Artinya apa pun yang yang kita mulai seharusnya diselesaikan secara sempurna bagaikan orang memilin benang tetebus tersebut, semua diproses dengan penuh kesabaran dan ketelatenan.
Berbeda lagi pesan yang disampaikan dalam “benang pepegat” saat orang melakukan perpisahan khususnya dalam upacara Pitra Yadnya. Para tetua mungkin ingin menyampaikan bahwa kita ini memang terikat seperti benang, antara satu dengan lainnya, namun bila waktunya kita sudah harus berpisah atau melepaskan perikatan terhadap dunia material, maka orang seharusnya menerima kejadian tersebut sebagai proses yang tidak dihindari dalam kehidupan manusia normal. Perpisahan bukan berakhirnya suatu proses, namun perpisahan adalah awal dari proses kehidupan baru.
Bisa dikatakan, bahwa makna pemakaian benang suci tersebut tergantung dari jenis aktivitas ritual yang dilakukan dan benang tersebut menyiratkan makna kepada manusia, bahwa kita seharusnya dalam hidup ini mengalami proses pematangan, sehingga terlahir generasi yang bisa saling bersatu dengan yang lainnya. Namun jika pemakaian benang suci tersebut tidak dimaknai secara serius, maka pemakaian benang suci dalam kegiatan ritual tak ubahnya bagaikan orang mendengarkan music rock keras yang berlirik bahasa Inggris, terdengar keren namun kita tidak tahu dengan jelas artinya.
Begitu juga dalam kehidupan ritual orang Bali, mereka banyak merayakan upacara, rela mengorbankan waktu namun, memakai banyak simbul. Namun bila makna yang disampaikan dalam kegiatan tersebut tidak bisa ditelaah secara sempurna, maka hal itu kurang bermakna dan manfaatnya pun kurang.
Dalam kehidupan beragama kita mewarisi banyak petuah yang harus dicerna dan perlu dikaji secara mendalam untuk mengerti makna yang tersirat dalam tanda atau lambang yang digunakan dalam ritual tersebut. Para tetua kita dalam praktek kehidupannya tidak bergulat dengan aktivitas penghafalan sloka-sloka buku suci, namun lebih mewujudnyatakan ajaran itu dalam tindakan nyata. Sehingga tidak mengherankan bila kita diwariskan begitu banyak tanda-tanda keagamaan yang seharusnya kita perdalam maknanya, agar kita memahami cara ritual masyarakat kita di jaman dulu.
Bila kita dalam kegiatan berspiritual hanya mendasarkan diri pada suatu proses “prejani” tanpa mau belajar dari simbol-simbol yang dipakai dalam kegiatan ritual, maka kita akan hanya menjadi selebriti pada kegiatan spiritual, semua ditampilkan dengan meriah, mewah namun semua datang dan pergi tanpa kesan. Hal ini seperti juga mulai menjangkiti kita dalam beritual, karena pengaruh jaman global maka kebijaksanaan leluhur kita yang dulunya menyiratkan pesan-pesan filosofi, sekarang digantikan dengan gaya persembahan modern. Akibatnya, kini jarang terjadi suatu proses “komunikasi” dengan alam di mana kita berpijak.
Hal tersebut kita bisa lihat sekarang di kehidupan masyarakat yang ekonominya sudah mapan, seperti dalam merayakan hari kelahiran. Banyak di antara mereka tidak lagi merayakan otonan-nya, namun lebih berdasarkan kalender modern, sehingga pemakaian benang tetebus, benang tridatu hampir tidak ada lagi. Mereka lebih senang merayakan hari kelahirannya dengan pola “prejani” itu, sehingga mereka lebih hafal dengan istilah “Burgerking”, “Fried Chicken”, “French Fries”, dan hal-hal prejani (instant) lainnya. Karena mereka tidak mendapatkan ajaran filosofis yang terkandung dalam benang, maka semua mereka lakukan dengan prejani.
Ketika mereka ingin memiliki kendaraan, mereka cenderung lakukan secara cepat dengan menjual tanah warisan. Begitu juga tentang bahan persembahan yang dihaturkan untuk upacara mereka cenderung memakai produk dari luar Bali, sehingga ibu pertiwi Bali terabaikan. Jadinya jarang ada proses pelestarian terhadap tanaman Bali, seperti tanaman sentul, mundeh, dau, gunggung, juwet, dan yang lainnya.
Sebelum hal lebih parah terjadi marilah kita bercermin dari pemakaian benang suci atau tali suci itu, biarkanlah kita mengalami suatu proses yang susah untuk mencapai suatu tujuan, seperti apa yang dialami benang itu. Jika kita tidak mau mendalami makna benang suci itu, maka bukan tidak mungkin suatu saat kita ganti benang suci itu dengan tali plastik, atau bagi yang berada bisa saja mengganti benang suci itu dengan untaian gelang emas, kalung emas dan lain sebagainya.
Marilah kita jadikan benang suci sebagai penanda keterikatan kita terhadap agama kita, persatuan di antara warga Hindu, dan berlindung kepada kekuatan tridatu yang melambangkan kekuatan dewa Tri Murti. Semoga saja nantinya kita semakin sadar bahwa kegiatan beragama atau berspritualitas kita semakin kokoh, terpilin seperti benang suci tersebut, saling terikat satu sama lainnya untuk menyatukan dirinya agar berguna pada kehidupan ini.
BENANG SUCI TANDA KOMITMEN DI JALAN ROHANI
Dalam upacara agama Hindu, Khususnya adat di Bali sering kita temukan dalam acara-acara khusus terdapat upacara pengalungan benang suci atau upacara diisi dengan benang Tri Datu, yaitu tiga helai benang dengan ukuran tertentu yang berwarna Merah, Putih, dan Hitam. Kalau di Bali, merah disebut barak atau biying, Putih disebut Putih, sedangkan hitam disebut selem atau badeng. Seperti upacara panglukatan misalnya yang menggunakan benang Tri Datu. Biasanya benang tersebut di sematkan pada tangan seseorang atau dijadikan kalung dan diisi pis bolong.
Dalam kepercayaan umat Hindu di Bali, benang Tri Datu tersebut dipercaya memiliki kekuatan magis, agar seseorang terhindar dari kesulitan. Benang Tri Datu juga diyakini sebagai simbol kwaca atau pelindung diri. Di samping itu bagi umat Hindu Simbol benang Tri Datu juga diyakini memberi vibrasi kesucian bagi si pemakai benang tersebut dan menandakan umat yang mengalungkan benang Tri Datu tersebut adalah sebagai tanda atau simbol pengesahan dalam melaksanakan ritual atau upacara pengelukatan.
Dalam kegiatan aguron-guron, seperti saat penerimaan seorang murid, maka akan dilakukan nama karanam dan setelah murid dianggap mempunyai kualitas, maka si murid akan diberi benang suci, yaitu diinisiasi atau di-diksa. Orang yang mendapatkan benang suci tersebut menurut aturan-aturan veda asrama ialah orang-orang yang terpilih, artinya mereka adalah orang-orang yang siap baik secara prinsif dan mengikuti aturan-aturan sastra. Dan tali suci itu sebagai sebuah tanda, bahwa seseorang tersebut dapat disebut sebagai seorang brahmana. Demikian juga dalam prakteknya, seorang diksita atau brahmana harus melaksanakan kewajibannya sebagai pelayan Tuhan. Seorang pelayan Tuhan dalam tatanan kehidupan rohani misalnya seorang brahmacari dan brahmacarini. Ia harus siap berpantang melaksanakan aturan-aturan daru guru spiritualnya, yaitu mengikuti aturan Guru siksa, dimana ia harus tahan terhadap penderitaan dan menjaga kesuciannya, yaitu dengan saucam, dimana ia harus jujur, tidak menipu dirinya sendiri, jadi pertapaan itu dilakukan untuk kebaikan dirinya bukan untuk orang lain. Demikian juga seorang brahmacari tidak boleh memikirkan tentang orang lain selain melayani Tuhan, apalagi berkata-kata untuk kepuasan indria sehingga prilaku kesucian tetap terpelihara dalam pertapaannya.
Demikian juga seorang grahasta yang sangat penting dalam memobilisasi berjalannya warna asrama dharma, karena para grahasta-lah yang harus bertanggung jawab memfasilitasi para brahmacari dan wanaprastha serta bhiksuka. Dalam posisi ini para grahasta harus menjaga ketat pertapaannya agar dia maju dalam kesadarannya. Dan grahasta diperbolehkan berhubungan seks hanya dimaksudkan apabila menginginkan adanya keturunan, selain itu dilarang.
Namun sekarang banyak di antara kita yang berusaha hidup rohani akan tetapi kesannya menabukan symbol-simbol tersebut. Misalnya banyak di antara kita memakai benang suci tersebut sebagai aksesoris semata atau sebagai variasi-variasi kehidupannya, agar nampak hidupnya suci namun melupakan atauran-aturan standar sastra. Fenomena tali suci yang bertujuan untuk dihormati dan terkesan suci, maka itu sama dengan penggunaan nama suci Gayatri saat ini. Dahulu mantram Gayatri adalah mantram yang khusus penggunaannya bagi para Brahmana untuk bisa mengangkat derajat manusia ke kesadaran yang tinggi, namun sekarang tidak banyak orang yang sungguh-sungguh melihat pengucapan mantra tersebut didasari atas kualitas orang. Fenomena sekarang sudah tidak mempedulikan aturan-aturan pakai dari mantra dan benang suci tersebut sehingga benar-benar menunjukkan sebagai orang yang bonafide. Sekarang orang mengumbar nama suci tersebut tanpa memikirkan aturan standar dari penggunaan amantra dan benang suci tersebut.
Pemakaian tali suci di era modern ini tentu akan menjadi sangat relepan, bilamana hal itu menunjukkan kesungguhan hati pemakainya di dalam menggantungkan harapan dan ingatannya kepada Tuhan. Karena hanya peradaban rohanilah yang mengantar tiap jiwa ke jalan kebahagiaan sesuai teori kebahagiaan yang diamanatkan Sarasamuscaya, yaitu “Sukha” kebahagiaan dalam hidup ini menuju kebahagiaan hidup yang akan datang.
BENANG TRI DATU SIMBOL SUCI YANG INDAH
Ketika kita melihat orang Hindu di Bali saat ini, maka semakin marak muncul identitas baru, selain memakai wija di dahi, banyak orang juga memakai benang tridatu, sebagai simbolis telah melalui prosesi tertentu. Apa yang bisa kita maknai dari pemandangan seperti ini? Adakah ini bentuk kreativitas beragama, dalam heterogenitasnya zaman? Sulit untuk menjawabnya dengan pasti.
Pemakaian benang tridatu, saya temui di keluarga saya pada kondisi, sebagai berikut. Pertama, saat gendongan (kulkul suci) peninggalan Kerajaan Klungkung bersuara. Kedua, ketika salah satu keluarga, pedek tangkil ke Pura Penataran Ped, di Nusa Penida. Ketiga, selesai mengikuti prosesi Agnihotra, yang dipimpin oleh Ida Rsi Agni Jaya Murti di Geriya Sampalan Kelod. Untuk yang terakhir ini sering Beliau lakukan di Bandung, kami alumni ITB, yang gandrung spiritual ketika itu, ikatan benang empat warna (merah, putih, kuning dan hitam) itu sangat membanggakan dan juga indah, di samping ada getaran kesucian dalam hati dan pikiran kami, yang memakainya.
Ida Rsi Agni Jaya Murti, memaknai penggunaan benang catur warna itu, melambangkan catur loka pala, dan energi yang mengitarinya berasal dari empat penjuru mata angin, begitulah makna yang selalu di Dharmawacanakan oleh Ida Rsi. Upacara agnihotra sangat disiplin dan konsisten hingga kini. Kami selalu mengenang dan mendapatkan pencerahan, ada semacam kerinduan di antara kami para alumni itu, yang kini menyebar ke seluruh Indonesia, kadang-kadang kami saling mngunjungi, dan datang untuk ikut sembahyang agniotra di geriya Sampalan Kelod, karena beliau sampai saat ini, sangat disiplin untuk konsisten melakukan yadnya Agnihotra, setiap purwaning tilem dan purwaning purnama.
Maraknya penggunaan benang tridatu, sebagai sebuah pertanda baru. Hal ini dapat dijelaskan bahwa agama Hindu kaya dengan simbol. Simbol ini sebagai bentuk identitas untuk membedakan pada ordenary person (orang kebanyakan). Apa makna yang terkandung dari penggunaan atribut ini, dapat diuraikan sebagai berikut. Pertama sebagai simbul kesucian. Kedua, eksistensi keberadaan dengan komunitas lain. Ketiga, benang tridatu dapat penangkal mara bahaya.
Benang tridatu sebagai simbol kesucian. Kesucian itu muncul, karena pikiran orang yang memakai selalu teringat tentang aspek trimurti, warna putih, hitam dan merah (Brahma, Wisnu dan Siwa). Tuhan hadir dalam benak sebagai generation, organization dan destruktion (GOD).
Berkaitan pada simbol identitas agama Hindu, maka di era globalisasi, orang kini berpaling pada identitas kelompok, karena kini telah banyak muncul merk global yang menggilas identitas lokal, agar tidak kehilangan identitas. Dalam koridor simbol itu, maka manusia disebut Homo simbolicum, yang selalu bersentuhan dengan simbol-simbol, akan kerap hadir dalam kehidupan sehari-hari.
Simbol suci kerap mengatasi kegelisahan manusia untuk memaknai dirinya dalam konstelasi alam raya dengan ketuhanan yang melingkupinya, serta keterbatasan daya analisis manusia itu, menyebabkan manusia kemudian berfilsafat untuk memberikan pemuasan secara intelektual tentang apa-apa yang membuatnya gelisah. Filsafat Wedanta memberikan uraian tentang keterkaitan manusia dengan alam raya dan Tuhan dengan sangat indah dan cerdas. Ada empat statemen berkenaan dengan itu, yakni: Prajnanam Brahman, Tat Twam Asi, Atman Brahman aikyam, Aham Brahma Asmi. Keempat pernyataan agung itu merupakan intisari Upanisad, sebuah mutiara kehidupan yang paling lengkap yang dimiliki oleh peradaban Weda. Peradaban ini awalnya memang diturunkan dan dianut oleh komunitas manusia yang hidup di lembah sungai Shindu. Yang oleh orang-orang Barat disebut Hinduism.
Dalam ajaran yang demikian luas untuk mengekstrak menjadi identitas Hindu, sebenarnya sangatlah sulit, tanpa jiwa spiritual tumbuh dalam pencariaan itu. Weda dimaknai tiada berawal dan tiada berakhir, hanya dengan pemaknaan pada evolusi spiritual manusia dari Dwaita, ke Wisista Dwaita dan akhirnya ke Adwaita dapat menjawab kesulitan itu. Banyak ahli yang ingin menggali dan mengungkap sari pati Weda, namun mereka luluh karena tercerahkan. Max Muller satu diantara banyak sarjana Barat yang mengecap manisnya ‘nektar’ Weda. Inti sari Weda ternyata ditemukan bisa dibahasakan dengan untaian kata ini “memuliakan pengorbanan sebagai kebajikan tertinggi”, Na karmana na prajaya dhanena tyagenaikena amritatwamanasu” Keabadian hanya dapat dicapai dengan pengorbanan. Harta, keturunan, maupun perbuatan baik tidak dapat memberikan kekekalan.
Identitas Hindu seolah-olah dapat muncul di hati mereka yang tercerahkan. Perubahan karakter itu seolah-olah menjadi identitas Hindu, dan kata Hindu itu sendiri menjelma menjadi sebuah identitas menganggumkan, yaitu H (humanity, kemanusian ), I (Integrity, kejujuran), N ( nationality , kebangsaan), D (devotion, kebaktian), U (Unity, kesatuan).
Kemanusiaan berangkat dari pelaksanaan kebenaran, kebajikan, kedamaian, kasih dan tanpa kekerasan. Ciri ini memang sulit dipisahkan dari Hindu, yang cinta damai, tanpa kekerasan. Predikat cinta damai buat Hindu tetap ajeg sampai kini karena usaha yang tanpa pamerih dari orang suci (Yogi) untuk meningkatkan spiritual masyarakat untuk selalu bertahan di jalan dharma. Para Yogi inilah yang selalu mempertahankan dan penuh disiplin menggali ajaran suci dan memperbaharui penafsiran sesuai dengan tuntutan zaman. Di antara sekian banyak para yogi, guru suci dan ahli Weda dalam domain Hindu yang sangat luas, bisa disebutkan Swami Dr Vedavyasa, PhD, seorang president Yoga Brotherhood of Amerika (Inc) USA, menulis dalam bukunya Hinduism In The Space Age (1995, 47) “ A Universal Wisdom Science that is also a life disiplin for healty Harmonious and happy posterity”.
Manusia adalah mahluk yang tidak memiliki esensinya kata Sartre. Dalam konsep itu nampaknya bisa bersinggungan manakala manusia tidak memiliki identitas yang membedakan dengan segerombolan manusia yang lain. Artinya, manusia tidak dapat didefinisikan. Manusia ialah apa yang dia pilih untuk menjadi. Karena manusia dapat menjadi apa saja, di depan manusia tersedia peluang yang tidak terhingga. Agama Hindu berdiri sebagai salah satu jalan untuk membawa manusia mengenal dirinya sendiri, hakekat dirinya sendiri (true the self). Dalam konsep itu, manusia memasuki tiga tahap, yaitu (1) estetik, (2) etis (3) religiutas.
Dalam hal religiusitas ini, banyak hadir para orng suci Hindu hadir semisal Ida Rsi Agni Jaya yang bertempat di Geriya Sampalan kelod ini, yang kerap hadir memberikan aksentuasi pada identitas Hindu. Di dimensi internasional, kita bisa melihat peran strategis Swami Sathya Narayana (Swami Sai Baba). Guru Suci ini selalu memberikan panafsiran terkini tentang ajaran suci Weda dengan bahasa yang mudah dicerna, dengan organisasi internasionalnya yang hampir meliputi 165 negara di dunia mengalirkan ajaran Weda bak air bah menyusup di lintas negara dan ras bangsa ke seluruh dunia.
Di samping itu, Sai Baba, juga memiliki sebuah payung pelayanan kemanusian yang diorganisir dengan nama: Sri Sathya Sai Seva Organitations yang bergerak memberikan pelayanan kemanusiaan dengan motto sederhana: Manava seva madava seva (melayani manusia adalah juga melayani Tuhan). Dengan prinsip dasar: Religious Tolerance seolah mengembangkan Hindu modern dengan identitas kemanusiaan yang sangat intens. Sevadal-sevadal-nya juga sering menggunakan tanda ikatan benang di tangan kanannya.
Selain itu, Sebuah Wacana Swami Sai Baba tentang Weda, yang membuat para ahli teosofi dan pencinta spiritual kagum adalah kemampuan untuk memberikan terminologi modern terhadap Hindu dalam buku “ Guide to Indian Culture and Spirituality, (ed. Kausalyarani Raghavan 1990, 99) menyebutkan : The essence of all Purana and Weda is : Do good to others and keep way from doing harm to others. Doing harm to others is great papa”
Seruannya yang selalu membuat orang tersentak adalah kemanisan di balik rangkaian kata yang sulit dicari bandingangnya “Love all religions and all nations. Recognise and accept all religion as paths leading men to the same destination. All of them peace and compassion, humanity and forbearance’ (Last Para Devine Discourse, p 248). Selain itu Beliau mengatakan: “Ada dua hal yang diperlukan untuk hidup bahagia: dhanya’ bahan makanan’ untuk memelihara badan dan dhyana ’meditasi’ untuk memasuki tempat kediaman Tuhan dan lebur dalam kemuliaannya.” SriSathya Sai Saying (ed. Dr. D.R. Sadh Khandwa, 1988, 126).
Akhirnya, bukan simbolisasi identitas benang tridatu semata yang penting, adalah ketika memakai benang tridatu, juga diikuti dengan prilaku yang mengharumkan Hindu, lewat pelayanan pada semua mahkluk. Om nama Siwaya.
Akhirnya, bukan simbolisasi identitas benang tridatu semata yang penting, adalah ketika memakai benang tridatu, juga diikuti dengan prilaku yang mengharumkan Hindu, lewat pelayanan pada semua mahkluk. Om nama Siwaya.
BENANG TRI DATU SEBAGAI SIMBOL OMKARA DAN PROTEKSI GAIB
Krama Bali Hindu sudah biasa memakai benang tri dathu sebagai gelang. Sebagai aksesoris ia kelihatan unik dan antik, namun lebih jauh dari itu benang ini memiliki nilai filosofis yang dalam dan diyakini memiliki power magis. Bagaimanakah keberadaan piranti spiritual ini secara menyeluruh.
Tri berarti tiga dan dathu berarti elemen atau warna. Jadi tri dathu adalah tiga warna yang terdiri dari merah, hitam dan putih sebagai lambang Brahma, Wisnu dan Iswara (Siwa). Tiga warna ini biasanya digoreskan pada tiang-tiang bangunan rumah, pura dan sebagainya pada saat membuat upacara pemlaspas, yaitu ritual yang bertujuan untuk menyucikan dan peresmian bangunan. Maksudnya untuk menjaga penghuninya supaya memperoleh kerahayuan dan segala bhuta kala yang hendak mengganggu dapat diredam. Demikian penjelasan Ketut Gina, dalam bukunya yang berjudul “Gambar dan Lambang.”
Warna yang dipakai pada tiang bangunan atau tempat suci biasanya berasal dari darah binatang yang disembelih sebagai hewan upacara, sebagai warna merah. Kemudian warna putihnya diperoleh dengan menggoreskan kapur sirih, sedangkan warna hitamnya berasal dari arang kayu.
Kehadiran lambang dan simbol dalam upacara Hindu di Bali tidak bisa dilepaskan dari praktik tantrik yang mengusung power atau sakti sebagai wadah. Tidak salah kemudian bila tiga warna ini memang dominan fungsinya untuk kepentingan magi, dalam hal ini magi protektif, sebagai pelindung.
Sejarawan, Dr. I Nyoman Wijaya, M. Hum, pernah mengungkapkan, bahwa warna merah, hitam dan putih yang dipandang sakral oleh umat Hindu sebenarnya berasal dari kebudayaan asli Nusantara, di mana ketiga warna tersebut dipercaya bernilai magis. Namun setelah budaya Hindu masuk Nusantara, ketiga warna ini diberi pemaknaan baru dengan filsafat Hindu, yaitu konsep Tri Murti: Brahma, Wisnu, Iswara (Siwa).
Kemudian bagaimana pemanfaatan tiga warna tersebut (tri dathu) untuk manusia? Jelas memang, untuk manusia mendapat perlakuan berbeda dibandingkan dengan bagaimana pemanfaatan warna-warna sakral itu pada bangunan maupun hewan. Bila untuk ngurip maupun melindungi bangunan baru atau bangunan suci dari vibrasi negatif, maka warna sakral itu dioleskan pada bangunan, sedangkan pada manusia digunakan sebagai gelang benang tri dathu.
Benang diikatkan pada lengan, maksudnya, mengikat atau melindungi urip atau hidup seseorang, karena benang tiga warna ini selain bermakna kemanunggalan Brahma, Wisnu dan Iswara, juga bermakna manunggalnya bayu, sabda dan idep, yang berarti jangkep-nya sang mahurip. Dari sisi magis, ketiga warna ini mewakili aksara Ang, Ung, Mang. Ketiganya manunggal menjadi aksara Om. Nyatalah benang tri dathu merupakan sebuah mantra sakti, Omkara nada sebagai pelindung.
Selaian itu, pemakai benang tri dathu diharapkan membawa vibrasi baik bagi pikiran pemakai benang tri dathu. Benang tri dathu disebut juga dengan benang tetebus. Ketut Donder dalam bukunya “Panca Dhatu, Atom, Atma dan Animisme” mengungkapkan, benang tri dathu kerap digunakan saat upacara Manusa Yadnya serta pada upacara abhayakala (biakawon) pada hari raya Galungan.
Benang warna merah biasanya dililitkan pada pergelangan tangan, benang hitam dililitkan pada kaki dan benang warna putih disuntingkan pada telinga. Fungsinya untuk menenangkan pikiran, agar tidak terpengaruh oleh pengaruh negatif.
Ada kalanya yang dipakai adalah benang empat warna atau catur dhatu: putih, merah, hitam, kuning. Selain dipakai masyarakat, pemakaian empat warna juga nampak di sanggar agung, Besakih yang merupakan sthana Tuhan dalam manifestasi Wisnu, Brahma, Siwa dan Mahadewa. Empat warna benang ini juga bisa menyimbolkan catur loka pala, yaitu Indra, Baruna, Kuwera dan Yama. Apa pun itu, warna-warni tersebut selain memiliki arti filosofis dan secara etika indah sebagai gelang, juga berintikan kekuatan magis sebagai pangraksa jiwa pemakainya. Dan zaman modern ini pun telah diketahui secara ilmiah bahwa berbagai warna memiliki pengaruh kesehatan tertentu bagi organ-organ tubuh.
Penolak Wabah
Ada kepercayaan yang berkembang di kalangan masyarakat Bali tentang keyakinan terhadap grubug atau wabah menjelang sasih Kanem dan Kapitu. Pada seputar kedua sasih inilah akan banyak dijumpai krama Bali mengenakan benang tri dathu di pergelangan tangannya.
Menurut Jro Mangku Oka Swadiana dari Kerobokan, Badung, pemakaian benang tri dathu bagi sebagian orang diidentikkan dengan Ida Bhatara Ratu Gede Dalem Sakti Mas Mecaling yang bersthana di Pura Dalem Ped. Dengan memakai benang tersebut orang-orang percaya bakalan dijauhkan dari gangguan ancangan Bhatara Dalem Ped, manakala ancangan beliau melawat di tengah-tengah masyarakat Bali antara sasih Kanem dan Kapitu.
Bagi Jro Mangku Oka, melawatnya ancangan Ratu Gede Dalem Sakti Mas Mecaling ke tengah-tengah masyarakat dalam rangka mengadakan evaluasi terhadap perilaku krama Bali. Pada masa-masa itu, konon mereka yang tergolong jadma tan pa kerthi (orang yang tidak berbhakti kepada Tuhan) akan menerima hukuman dari para ancangan tersebut.
Ciri-ciri mereka yang diganggu ancangan Bhatara Dalem Ped, seperti bingung, bengong, gundah gulana, sakit dan penderitaan lainnya. Sebaliknya, bagi krama yang sudah menunjukkan sradha bhakti ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi beserta semua manifestasiNya, maka semua ancangan tersebut tidak akan menyentuhnya.
Masih menurut Jro Mangku Oka, ada kalanya benang tri dhatu dilengkapi dengan pis bolong, bawang putih, mesui dan jangu. Dalam hal ini pis bolong sebagai simbol kemanunggalan dengan alam luhur (dewata), kesuna berwarna putih sebagai simbol Dewa Iswara (Siwa), dan mesui dengan karakter panasnya mewakili sifat Dewa Brahma, dan jangu yang sejuk sebagai simbol karakter Dewa Wisnu.
Benang tri dhatu dengan kandungan benda-benda tersebut biasanya dikenakan saat wabah menerjang di suatu wilayah. Tambahan mesui, kesuna, jangu dan pis bolong ini untuk memperkuat getaran magis benda tersebut, sehingga fungsinya semakin optimal. Tapi, benang tri dathu yang dilengkapi dengan pis bolong ini tidak melulu dipakai sebagai gelang, karena ada kalanya digunakan sebagai kalung sebagai sikep atau pangraksa jiwa.
Berdasarkan praktik di tengah masyarakat, benang tri dathu merupakan satu kesatuan dengan upacara. Ia merupakan bagian dari bebantenan, sehingga secara langsung benda ini dimohonkan kekuatan dari Ida Bhatara, sehingga memiliki power khusus. Jadi, tidak perlu pasupati khusus untuk bebang tri dathu, asalkan benang itu dibuat sebagai bagian bebantenan. Namun beberapa pengobat tradisional yang mengobati pasiennya, ada kalanya memberikan benang tri dathu pada pasiennya. Menurut Jro Mangku Oka, benang tri dathu jenis ini umumnya memerlukan pasupati khusus, supaya memiliki power penjaga, dan penyembuh serta pengusir roh-roh jahat. Berapa lama tuah benang tri dathu ini bekerja? Menurut Jro Mangku, power magis benang tri dathu akan terus bekerja selama benang itu masih melekat di badan dan fungsinya akan selesai bilamana benang itu lepas secara alamiah maupun sengaja dilepaskan.
MAKNA BENANG TRI DATU
Benang suci TRIDATU adalah benang yg terdiri dari jalinan tiga buah benang yg berwarna putih, hitam dan merah yg menyimbolkan Brahma, Wisnu dan Siwa, juga simbol dari tiga serangkai lainnya Mahasaraswati, Mahalaksmi dan Mahakali. Melambangkan tiga guna; satwam, rajas tamas, melambangkan tiga suku kata tunggal A,U,M dari OM.
Seorang sahabat bertanya agak serius. “Kenapa rata-rata orang Hindu, khususnya yang berasal dari Bali memakai gelang dari benang warna tiga?”
Penjelasan nya;
Selalu memberikan jawaban yang simpel dan filosofis. Misalnya, tridatu dijelaskan sebagai simbol untuk selalu mengingatkan manusia bahwa hidup itu tidak hanya sewarna, melainkan banyak warna. Paling tidak ada kelahiran, kehidupan, dan kematian dan dengan menggunakan tridatu, kita diingatkan atas semua itu.
Ada juga yang berkeyakinan dan percaya bahwa pemakaian benang suci akan mampu memberikan vibrasi kesucian dan perlindungan dari segala kejahatan dan mengusir roh – roh jahat.
Di India juga mengenal pemakaian benang suci di tangan. Jikalau kita berupa jalinan tiga buah benang yg disebut Tridatu, di India pemakaian benang ini disebut dengan Raksha Sutra, Raksha = perlindungan, Sutra = benang, jadi berarti benang suci perlindungan. Namun di India biasanya hanya satu warna, kuning atau merah atau putih.
Biasanya saat pemakaian benang ini akan dilantunkan swasti sukta yaitu mantra – mantra permohonan perlindungan.
Om Swastina indro wriddaswarah
Swastina pusha wiswadewah
Swastina tarkshyo aristanemih
Swastino brhaspatir dadathu.
Semoga Indra yg perkasa, Pusha (Matahari) yang terpelajar, Tarksya (Garuda) yang tak terkalahkan serta Brhaspati memberkati dan melindungi kita.
Atau bisa juga dengan mantra yang singkat:
Om Ang Ung Mang
Raksha – raksha Hum Phat Swaha.
Ang-Brahma
Ung-Wisnu
Mang-Siwa
Raksha-perlindungan
Hum-kawaca/baju jirah/tameng
Phat-bijaksara senjata
Swaha-permaisuri Agni, bisa juga berarti permohonan.
GELANG TRI DATU (IDENTITAS KEHINDUAN)
Beberapa tahun terakhir, ada yang menarik dalam dinamika umat Hindu di Indonesia. Sangat lasim kita melihat umat yang menggunakan gelang Tridatu (Benang yang di jalin dari tiga unsur warna, merah-Hitam-Putih) di tangan, fenomena ini hampir menyentuh seluruh lapisan umat Hindu, dari anak-anak, remaja dan tua.
Dahulu, gelang Tridatu hanya digunakan di Bali saat ada wabah (grubug) dalam satu wilayah desa. Digunakan sebagai penanda agar tidak terkena pengaruh negatif dari wabah yang sifatnya Niskala. Namun kini, gelang Tridatu digunakan dalam keseharian umat Hindu. Tampaknya Gelang Tridatu mulai berubah fungsi, dari yang sifatnya Niskala kini menjadi identitas kehinduan. Weeks (1990: 89) menyimpulkan identitas adalah soal kesamaan dan perbedaan, soal personal dan sosial, “soal apa yang kamu miliki secara bersama-sama dengan beberapa orang dan apa yang membedakanmu dengan orang-orang lain”. Fenomena ini menunjukkan bahwa, secara sadar umat Hindu mulai menunjukkan penanda dalam satu kesatuan agama dan sekaligus pembeda dengan Umat agama Lainnya.
Gelang Tridatu sendiri secara filosofis merupakan warna yang mewakili aspek ketuhanan, Merah sebagai warna Dewa Brahma, Putih sebagai warna Dewa Iswara/Siwa, dan Hitam sebagai warna Dewa Wisnu. Sekaligus mengingtakan tentang proses kehidupan yang diwakili dari tiga dewa tersebut (Tri Murti), Brahma-Uthpti/penciptaan, Wisnu-Sthiti/Pemeliharaan dan Siwa-Pralina/Peleburan. Dalam konteks keberaksaraan juga diwakili dengan : Ang-Ung-Mang. Pada Akhirnya kesatuan dari ketiganya adalah Omkara atau Hyang Widhi/Brahman itu sendiri.
Apabila dirujuk lebih jauh, konsepsi ketuhanan ‘Ekatva Anekatva Svalaksana Bhatara (Hyang Widhi adalah satu dalam yg banyak dan banyak dalam yang Satu)’. Warna-warna yang mewakili Dewa-dewa Hindu terpapar dalam konsep Dewata Nawa Sangga dan sekaligus karakter dari warna tersebut, Yaitu :
1. Iswara : Putih (Suka sugih tur Rahayu, dana Punia Sthiti Bhakti)
2. Mahesora : Merah Muda (Widagda sira ring Niti, Subhaga sirang Bhuana)
3. Brahma : Merah (Sampurna tur Dirghayusa, pradnyan maring Tattwa Aji)
4. Rudra : Jingga (Dharma Sira tur susila jana nuraga ring Bhumi)
5. Mahadewa : Kuning (Tut sira sura ring rana, prajurit watek mangaji)
6. Sangkara : Hijau (Teleb ring tapa brata, gorawa satya ring budhi)
7. Wisnu : Hitam (Sudira suci laksana, surupa lan sadhu jati)
8. Swayambhu : Biru (Paripurna santha Dharma, sudha,sidhi sihing warga)
9. Siwa : Pancawarna (Gung prabhawa sulaksana. Satya brata tapa samadhi)
Penggunaan gelang tridatu yang mulai demikian memasyarakat di kalangan umat Hindu, tentu saja secara sosial bisa menjadi Identitas kehinduan, sekaligus secara religius bisa menjadi media untuk selalu eling atau ingat akan Hyang widhi. Sekaligus mengingat siklus kehidupan di dunia ini, Lahi-Hidup-Mati. Sepertihalnya sabda kitab suci ‘Prasantha manasam hy enam, yoginam sukham utamam’ Artinya orang yang yakin dan selalu ingat memusatkan diri pada Hyang Widhi akan mendapatkan ketenangan bathin.
Mantra Puja Trimurti :
Om Brahma wisnu Iswara dewam,
Jiwatmanam trilokanam,
sarwa jagat pratistanam,
sudha klesa winasanam.
Retrieved from :